62. DIANGKATNYA ALI BIN ABI THALIB JADI KHALIFAH
*Prosesi Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah Keempat (35 H / 656 M)*
*A. Situasi Politik Pasca Kematian Utsman bin ‘Affan*
Kematian Khalifah Utsman bin ‘Affan menciptakan kekosongan kekuasaan yang sangat genting di ibu kota pemerintahan Islam, Madinah. Setelah Utsman terbunuh pada 18 Dzulhijjah 35 H (17 Juni 656 M), kekhalifahan Islam tidak memiliki pemimpin yang sah secara langsung, karena beliau tidak menunjuk pengganti secara formal sebelum wafat.
Situasi Madinah sangat mencekam. Para sahabat utama, termasuk para tokoh senior dari kalangan Muhajirin dan Anshar, berada dalam ketakutan. Di sisi lain, massa pemberontak dari Mesir, Kufah, dan Basrah masih bercokol di Madinah dan menekan elit-elit sahabat untuk segera menunjuk pengganti Utsman.
Ketegangan ini menjadi semakin kompleks karena belum adanya konsensus di kalangan elit politik Islam. Para sahabat utama seperti Sa‘d bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah enggan secara langsung menerima jabatan tersebut karena trauma politik dan kompleksitas pascakejadian.
*B. Desakan Publik terhadap Ali bin Abi Thalib*
Dalam kondisi penuh tekanan dan ketidakpastian ini, mayoritas masyarakat Madinah, termasuk para pemberontak dan sejumlah sahabat, bersepakat mendorong Ali bin Abi Thalib untuk menerima jabatan khalifah.
Ali bin Abi Thalib merupakan sepupu dan menantu Nabi Muhammad ﷺ, dan juga sahabat yang paling awal masuk Islam. Kredibilitas moral dan ilmu beliau sangat tinggi di mata umat. Namun, pada saat itu, *Ali menolak dengan tegas untuk menerima kekhalifahan.*
Ali menyatakan bahwa situasi belum kondusif dan beliau tidak ingin menjadi bagian dari konflik yang dipicu oleh pembunuhan Utsman. Namun, setelah berbagai pihak memohon dan mendesak secara langsung, Ali akhirnya menerima jabatan tersebut, namun bukan sebagai penerus kekuasaan dinasti, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap stabilitas umat.
Dalam salah satu riwayat disebutkan:
“Sesungguhnya aku lebih baik menjadi wazir (penasihat) daripada menjadi amir (pemimpin).”
(Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk)
*C. Proses Baiat terhadap Ali bin Abi Thalib*
Prosesi baiat (sumpah setia) kepada Ali bin Abi Thalib terjadi secara terbuka dan spontan di Masjid Nabawi. Tidak seperti pemilihan Abu Bakar atau Umar yang melalui proses musyawarah internal para sahabat, atau Utsman yang ditunjuk oleh tim syura, Ali dibaiat dalam keadaan darurat dan tekanan rakyat.
1. Waktu dan Tempat
Waktu: Beberapa hari setelah wafatnya Utsman (sekitar akhir Dzulhijjah 35 H / Juni 656 M)
Tempat: Masjid Nabawi, Madinah
2. Pelaku Baiat
Para sahabat yang membaiat: mayoritas penduduk Madinah, para pemberontak, serta beberapa sahabat besar.
Beberapa sahabat seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam awalnya turut membaiat, tetapi kemudian menarik dukungan karena menginginkan qishas atas darah Utsman segera dilakukan.
3. Jenis Baiat
Baiat terhadap Ali adalah baiat umum, yakni dilakukan oleh masyarakat luas secara terbuka.
Baiat ini tidak bersifat warisan atau penunjukan, tetapi merupakan kontrak politik darurat, dengan tuntutan agar Ali mengembalikan stabilitas dan menegakkan keadilan.
*D. Sikap Ali terhadap Kekuasaan*
Ali bin Abi Thalib menerima kekhalifahan dengan hati-hati dan berat, karena ia meyakini bahwa kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh keadilan. Dalam pidato pertamanya sebagai khalifah, Ali berkata:
“Wahai manusia, urusan kalian ini bukan urusan aku semata. Aku hanyalah salah seorang di antara kalian. Hak kalian atas diriku sama seperti hakku atas kalian. Jika aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka taatilah aku. Jika aku menyelisihi, maka janganlah taat kepadaku.”
(Nahjul Balaghah, Khutbah 34)
Ali menegaskan bahwa ia akan menerapkan hukum yang adil, bahkan jika itu menyangkut para pendukungnya sendiri. *Salah satu keputusan pertama Ali adalah mencopot para gubernur peninggalan Utsman dan menggantinya dengan tokoh-tokoh baru, namun hal ini memicu reaksi keras dari sebagian kelompok, terutama Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam dan kerabat Utsman.*
*E. Tantangan Awal Kekhalifahan Ali*
Ali menghadapi tantangan yang sangat berat sejak awal pemerintahannya, antara lain:
1. Tuntutan Qishas atas Darah Utsman
2. Banyak sahabat dan tokoh Bani Umayyah menuntut agar pembunuh Utsman segera ditangkap dan dihukum.
3. Ali menolak untuk menindak pelaku saat itu juga karena belum ada sistem pemerintahan stabil dan para pelaku masih bercampur dengan masyarakat umum.
4. Ini membuat kelompok seperti Aisyah, Thalhah, dan Zubair menarik dukungan dan akhirnya memimpin pemberontakan yang berujung pada Perang Jamal (656 M).
5. Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam, menolak membaiat Ali dan menuntut qishas terhadap pembunuh Utsman sebelum mengakui kekhalifahan Ali. Konflik ini memuncak dalam Perang Shiffin (657 M).
6. Terbatasnya Dukungan dari Kalangan Sahabat Tua
Sebagian besar sahabat senior memilih untuk tidak terlibat dalam konflik, menciptakan kekosongan dukungan moral dan politik bagi Ali.
*Kesimpulan*
Prosesi pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat berlangsung dalam konteks krisis politik dan moral yang mendalam pasca terbunuhnya Utsman bin ‘Affan. Tidak seperti pendahulunya, Ali naik sebagai pemimpin bukan melalui konsensus elite atau musyawarah formal, melainkan karena desakan publik yang menginginkan stabilitas.
Baiat kepada Ali merepresentasikan bentuk legitimasi darurat, bukan kehendak politik tunggal. Namun, keputusan-keputusannya yang berlandaskan prinsip keadilan seperti mencopot pejabat lama dan menunda qishas atas pembunuhan Utsman justru menjadi sumber konflik politik berikutnya yang membelah umat Islam untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Komentar
Posting Komentar