59. KEMATIAN UTSMAN BIN AFFAN (Part 1)

*KEMATIAN UTSMAN BIN ‘AFFAN radhiyallahu anhu*

*A. Latar Belakang*
Masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan (r.a.) berlangsung selama kurang lebih dua belas tahun (23–35 H/644–656 M), menjadikannya pemerintahan terpanjang di antara Khulafaur Rasyidin. Masa kepemimpinannya diawali dengan kondisi yang relatif stabil dan berkembang, di mana wilayah kekuasaan Islam meluas hingga Afrika Utara dan Asia Tengah. 

Pemerintahan Khalifah Utsman bin ‘Affan memasuki fase krisis pada paruh kedua masa kekuasaannya. Jika dalam enam tahun pertama beliau dikenal sebagai pemimpin yang dermawan, adil, dan meneruskan semangat kepemimpinan Umar bin Khattab, maka enam tahun terakhir ditandai dengan gelombang ketidakpuasan yang semakin meluas. Ketidakpuasan ini berasal dari berbagai faktor internal dan eksternal, serta melibatkan elemen politik, sosial, administratif, hingga persepsi keagamaan. 

*B. Penyebab Ketidakpuasan Sosial-Politik terhadap Pemerintahan Utsman bin 'Affan*

*1. Tuduhan Nepotisme dan Dominasi Bani Umayyah*
Salah satu kritik utama terhadap Utsman adalah kebijakan administratif yang memberikan posisi penting kepada kerabat-kerabatnya dari Bani Umayyah. Beberapa nama yang menjadi sorotan, antara lain:
>Mu‘awiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam, diperkuat dan diberi otoritas luas.
>Al-Walid bin ‘Uqbah sebagai gubernur Kufah, yang dituduh melakukan pelanggaran moral.
>Abdullah bin Sa‘d bin Abi Sarh sebagai gubernur Mesir.
>Marwan bin al-Hakam, sepupu Utsman, dijadikan sekretaris negara dan memiliki pengaruh besar dalam pembuatan kebijakan.

Meskipun penunjukan ini memiliki justifikasi administratif, masyarakat luas terutama di Irak dan Mesir, menganggap bahwa tindakan tersebut melanggar prinsip keadilan Islam dan semangat egalitarian dalam kepemimpinan Islam awal.

Penempatan keluarga dan kerabat dianggap sebagai bentuk ‘ashabiyyah (fanatisme kesukuan), suatu hal yang secara nilai sangat ditentang oleh ajaran Islam. Kritik ini terutama datang dari penduduk Kufah, Basrah, dan Mesir, yang merasa bahwa tokoh-tokoh lokal yang lebih kompeten diabaikan.

*2. Ketimpangan Ekonomi dan Distribusi Harta Ghanimah*
Di masa Umar bin Khattab, distribusi harta rampasan perang dan tanah dilakukan dengan prinsip pemerataan dan transparansi. Namun di masa Utsman:

>Beberapa tanah dan wilayah hasil futuhat diberikan kepada individu-individu tertentu secara pribadi, termasuk kepada anggota Bani Umayyah.
>Sistem diwan (gaji negara) mengalami sentralisasi, dan sebagian wilayah mengeluhkan ketidakmerataan distribusi pendapatan.
>Ketimpangan ini dirasakan khususnya oleh para veteran perang, pendatang di wilayah baru, serta kelompok marjinal yang berharap pemerintahan Islam memberikan kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.

*3. Sikap Lunak terhadap Pejabat yang Melanggar*
Beberapa pejabat yang diangkat oleh Utsman diketahui melakukan pelanggaran hukum atau etika, namun tidak diberi sanksi yang tegas. Contohnya:

>Al-Walid bin ‘Uqbah, gubernur Kufah, diketahui meminum khamr dan memimpin shalat dalam keadaan mabuk. Ia akhirnya dicopot, namun setelah tekanan publik yang besar.

>Marwan bin Hakam diduga menjadi dalang di balik surat palsu kepada gubernur Mesir yang memerintahkan pembunuhan para oposisi. Utsman dianggap membelanya dan tidak menyelidiki kasus itu secara terbuka.

Sikap ini menimbulkan kesan bahwa pemerintahan Utsman melindungi pejabat-pejabat korup dan tidak menjalankan prinsip hisbah (pengawasan moral) sebagaimana ditegakkan pada masa Abu Bakar dan Umar.

*4. Kesenjangan antara Pemerintah Pusat dan Wilayah*
Sebagai akibat dari ekspansi cepat wilayah kekuasaan Islam, jarak geografis antara pusat pemerintahan (Madinah) dan daerah-daerah seperti Kufah, Basrah, Fustat, hingga Khurasan menyebabkan lemahnya kontrol administratif.

>Keluhan masyarakat di daerah tidak segera ditanggapi.
>Utusan dan pengaduan dari wilayah sering kali kembali dengan hasil yang mengecewakan.

Akibatnya, penduduk wilayah merasa teralienasi dari pemerintahan pusat dan lebih mudah dipengaruhi oleh provokator.

*5. Perubahan Gaya Kepemimpinan dari Khalifah Sebelumnya*
a. Gaya Pemerintahan Utsman vs. Umar
Umar bin Khattab dikenal keras dan tegas, bahkan terhadap keluarganya sendiri.
Utsman lebih lembut dan toleran, sehingga dianggap “lemah” oleh sebagian masyarakat, terutama dalam menghadapi penyimpangan di tubuh birokrasi.

b. Kurangnya Forum Musyawarah Terbuka
Meskipun Utsman tetap menggunakan majelis syura, namun pengaruh keluarga dan penasihat pribadi (khususnya Marwan) dinilai terlalu dominan. Hal ini menciptakan kesan adanya “lingkaran dalam” dalam kekuasaan.

*6. Pengaruh Provokasi Eksternal dan Tokoh Radikal*
Tokoh seperti Abdullah bin Saba’ (dalam catatan Ibnu Jarir At-Tabari dan Ibnu Asakir) disebut sebagai provokator yang menyebarkan paham ekstrem:

>Menyebarkan keyakinan bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah.
>Menebar fitnah bahwa Utsman telah melakukan bid’ah dan pengkhianatan terhadap Islam.
>Menciptakan kekacauan intelektual dan menyebarkan propaganda anti-Utsman.

Meskipun keberadaan Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh historis diperdebatkan oleh sejarawan modern, pengaruh ideologinya dalam menghasut massa tidak bisa diabaikan dalam konteks sosial-politik masa itu.

*7. Kekecewaan terhadap Kebijakan Agama dan Sosial*
Khalifah Utsman melakukan beberapa ijtihad administratif yang ditentang oleh sebagian sahabat dan masyarakat:

Mengkodifikasi mushaf Al-Qur’an dalam satu dialek Quraisy (Mushaf Utsmani), yang menyebabkan mushaf dari dialek lain dibakar. Meskipun ini dimaksudkan untuk mencegah perpecahan, sebagian masyarakat menganggap ini tindakan arogan terhadap ragam bacaan (qira’at).

Pembatasan beberapa tokoh sahabat dari pengaruh politik. Misalnya, Abu Dzar al-Ghifari diasingkan karena keras mengkritik harta kekayaan elit.

*8. Peningkatan Harapan Publik Terhadap Pemerintah Islam*
Masyarakat Muslim awal terbiasa dengan model pemerintahan sederhana dan terbuka sebagaimana dipraktikkan Nabi Muhammad dan dua khalifah sebelumnya. Ketika mereka melihat tanda-tanda kemewahan, konsolidasi kekuasaan pada satu kabilah (Bani Umayyah), dan lemahnya penegakan hukum, mereka menganggap bahwa pemerintahan Utsman telah menyimpang dari khilafah rashidah yang ideal.

Penutup
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Khalifah Utsman bin ‘Affan tidak dapat disederhanakan sebagai bentuk pemberontakan semata, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai ketegangan struktural, kesenjangan harapan rakyat, krisis kepercayaan terhadap elite, dan disinformasi yang terorganisir. Meski niat Utsman untuk menjaga stabilitas dan menghindari pertumpahan darah patut diapresiasi, kelembutannya sebagai pribadi dan keterlambatannya dalam merespons krisis justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini akhirnya berujung pada pembunuhan politik pertama dalam sejarah Islam, yang membuka babak baru konflik internal umat yang berkepanjangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1. Asal Mula Konflik Palestina - Israel: Ringkasan Sejarah (Part 1)

14. DIALOG DENGAN KONTRA HAMAS (Part 2)

36. KONSPIRASI : Hamas itu Alatnya Israel