PENAKLUKAN & PEMBANTAIAN THAIF 1803 : SEJARAH KELAM SAUDI

Pembantaian di kota Thaif pada tahun 1803 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Jazirah Arab, yang menandai puncak ekspansi militer dan ideologis aliansi antara Gerakan Wahhabi dan Dinasti Saud pertama (Emirat Diriyah). 

Peristiwa ini menimbulkan trauma sosial dan keagamaan di wilayah Hijaz dan memperkuat citra gerakan Wahhabi sebagai kekuatan reformasi radikal yang sering kali ekstrem dalam pendekatannya terhadap umat Islam lain.

*Latar Belakang*

Gerakan Wahhabi-Saud Gerakan Wahhabi dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1792), seorang ulama dari Najd yang menyerukan pemurnian tauhid dan menentang praktik keagamaan yang dianggap sebagai bid’ah dan syirik, termasuk tawassul ziarah kubur dan perayaan maulid.

 Pada tahun 1744, ia bersekutu dengan Muhammad bin Saud, pemimpin Diriyah, untuk mendirikan negara yang berdasarkan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab. 

Aliansi ini berkembang menjadi kekuatan militer-religius yang ekspansif. Tujuannya adalah menaklukkan Jazirah Arab dan "menyucikan" Islam dari unsur-unsur yang dianggap menyimpang. Pada awal abad ke-19, kekuasaan mereka mencapai wilayah timur, tengah, dan sebagian barat Arab Saudi modern.

*Penaklukan dan Pembantaian di Thaif (1803)*

 Kota Thaif, yang berada di bawah otoritas Sharif Mekkah dari Dinasti Hasyimiyah, dikenal sebagai pusat perdagangan dan pemukiman yang kaya. Saat pasukan Wahhabi menyerbu kota ini pada 1803, penduduk tidak memiliki pertahanan kuat karena garnisun Ottoman dan pasukan lokal lemah.

Menurut catatan sejarah:

Ribuan warga sipil dibunuh tanpa pandang bulu, termasuk wanita dan anak-anak.

Tempat ibadah, rumah, dan pasar dijarah.

Banyak tempat suci dan makam dihancurkan, karena dianggap sebagai bentuk kesyirikan.

Pembantaian ini dimaksudkan sebagai "pembersihan" terhadap praktik keagamaan lokal yang tidak sesuai dengan doktrin Wahhabi.

*Reaksi Dunia Islam dan Ottoman*

Peristiwa ini mengejutkan dunia Islam. Pemerintah Ottoman yang saat itu masih mengklaim legitimasi sebagai khalifah Islam, memandang aksi Wahhabi-Saud sebagai pemberontakan sektarian yang membahayakan otoritas pusat.  Sebagai tanggapan, Sultan Ottoman mengutus Muhammad Ali Pasha dari Mesir untuk menumpas gerakan ini.

Pada tahun 1811–1818, Muhammad Ali mengirim pasukan yang berhasil merebut kembali Hijaz dan menghancurkan Diriyah. Gerakan Wahhabi-Saud sempat terhenti, sebelum akhirnya bangkit kembali pada awal abad ke-20 melalui pendirian Kerajaan Arab Saudi oleh Abdulaziz ibn Saud.

*Analisis Objektif* 
Pembantaian di Thaif tidak dapat dipisahkan dari konteks ideologis dan sosial saat itu. Gerakan Wahhabi melihat penduduk Hijaz sebagai umat Islam yang telah menyimpang, sehingga tindakan kekerasan dipandang sebagai jihad penyucian. Namun dari perspektif hukum Islam dan hak asasi manusia kontemporer, tindakan ini merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip perlindungan terhadap non-kombatan dalam konflik.

📚Daftar Pustaka:

1. al-Bishr, ‘Uthman bin ‘Abdullah. Unwan al-Majd fi Tarikh Najd. Riyadh, Darat al-Yamamah.

2. Blunt, Wilfrid Scawen. The Future of Islam. London: Kegan Paul, 1882.

3. Commins, David. The Wahhabi Mission and Saudi Arabia. I.B. Tauris, 2006.

4. Madawi al-Rasheed. A History of Saudi Arabia. Cambridge University Press, 2010.

*CATATAN*

Tidak semua kekerasan pada masa ekspansi Wahhabi-Saud berasal dari ajaran asli Muhammad bin Abdul Wahhab. 

Banyak tindakan militer dan politik dilakukan oleh pihak Saud dan pasukan yang membawa nama Wahhabisme, kadang melebihi mandat dakwah, bahkan mungkin melenceng dari semangat asli pemurnian Islam yang damai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1. Asal Mula Konflik Palestina - Israel: Ringkasan Sejarah (Part 1)

14. DIALOG DENGAN KONTRA HAMAS (Part 2)

36. KONSPIRASI : Hamas itu Alatnya Israel