11. Hamas Bukan Proksi Iran
*Hamas bukan proxy Iran*
Pendapat populer dan yang paling sering kita dengar adalah Hamas, salah satu kelompok perlawanan Palestina yang paling populer, adalah proxy atau kepanjangan tangan dari kepentingan Iran semata. Narasi ini populer di barat, seiring munculnya Islamofobia pasca revolusi Iran dan 9-11. Narasi ini juga populer di kalangan Muslim, khususnya para Salafi yang cenderung apolitis tetapi ada kecondongan terhadap Arab Saudi.
Apakah ini benar? Saya katakan tidak, bahkan *langkah Hamas sendiri banyak yang tidak sejalan dengan kepentingan Iran bagi kawasan.*
Langkah politik Hamas cenderung pragmatis, namun prinsip utama mereka 1) kemerdekaan bagi Palestina; 2) solidaritas Muslim Sunni.
Pragmatisme Hamas sangat terasa dalam hubungan mereka dengan Iran dan poros Muqowwamah. Hal ini terbukti ketika hubungan Hamas dan Iran terputus pada 2012, dikarenakan dukungan Hamas terhadap revolusi Suriah. Bahkan kantor Hamas di Damaskus ditutup dan harus pindah ke Doha, Qatar. Meskipun pada 2022 mereka rekonsiliasi, masih ada sifat runyam khususnya dengan Suriah, sebagaimana wawancara Bashar al-Assad pada Agustus 2023 yang menyatakan "Hamas adalah pengkhianat yang ikut mengibarkan bendera kolonial". Lebih jauh lagi, Hamas menyatakan dukungan terhadap keberhasilan revolusi Suriah pasca jatuhnya Damaskus pada 9 Desember lalu.
Jika kita tengok kembali sejarah, Hamas sama sekali tidak terikat dengan pihak luar, apalagi menjadi proxy. Pendanaan asing yang diterima Hamas sendiri tidak terikat pada satu pihak. Sejak 1990an, pendanaan Hamas berasal dari lembaga donasi asing dan aktor negara seperti Kuwait, Saudi, dan Iran. Meskipun demikian, hubungan Hamas-Iran pada 1990an tidak sedekat Iran-Hizbullat.
"Kedekatan" Iran dan Hamas mulai terjadi pada 2006, tepatnya setelah pemilu legislatif di Palestina. Dalam buku _Hezbollah and Hamas: A Comparative Study_ oleh Joshua L. Gleis dan Benedetta Berti disebutkan bahwa kedekatan Hamas dan Iran ini adalah imbas dari terhentinya donasi dari negara-negara teluk, utamanya Saudi, yang kala itu mendapatkan tekanan diplomatik dari Amerika untuk menghentikan segala pendanaan kepada kelompok yang dikategorikan Amerika sebagai teroris, khususnya di Irak & Palestina.
Terkait pendanaan dari negara teluk, utamanya Saudi, kepada Hamas, telah dibahas lebih jauh oleh Matthew Levitt dalam bukunya _Hamas: Politics, Charity, and Terrorism in the Service of Jihad_. Levitt menjelaskan bahwa pendanaan negara teluk kepada Hamas sejak 1994 adalah balasan bagi PLO yang mendukung Irak ketika menginvasi Kuwait. Laporan jurnalistik Italia pada 1997 juga melaporkan setidaknya Riyadh dan negara teluk lainnya telah menyalurkan dana sebesar 140juta lira (82,2juta USD di zaman itu) bagi Hamas. Laporan CSIS (lembaga intelijen Kanada) pada 2002 juga melaporkan bahwa pemerintah Arab Saudi ikut mendanai Hamas. Pada tahun 2000, pangeran Nayef bin Abdulaziz membentuk Saudi Committe for the Support of the al-Aqsa Intifada dan dilaporkan telah mengucurkan dana 133juta USD langsung kepada Hamas hingga 2002. Hingga 2003, dilaporkan pendanaan dari negara teluk telah mencapai 40-50% dari total pendanaan asing yang Hamas dapatkan. Dan masih banyak lagi berbagai dukungan dari negara teluk kepada Hamas yang disebutkan oleh Matthew Levitt.
Dukungan dari negara teluk kepada Hamas mulai berkurang dan terhenti dari 2003 hingga puncaknya 2005. Hamas pada masa ini benar-benar mengalami defisit yang besar. Iran mulai menawarkan bantuan yang lebih besar, dan ini diambil pada 2006 sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Meski demikian, Hamas tetap berhati-hati dalam menjalin hubungannya dengan Iran, tidak "dekat" sebagaimana Hizbullat dan PIJ.
Dapat disimpulkan, kedekatan Hamas dan Iran adalah kebutuhan mendesak, akibat dari berkurangnya bantuan dana dari negara teluk. Meski demikian, Hamas tetap berpegang pada prinsip terkait solidaritas Muslim Sunni, dibuktikan dengan dukungan Hamas kepada revolusi Suriah. Lebih jauh lagi, pada 2015, Hamas melakukan pelarangan terhadap Harakah ash-Shabirin, sebuah kelompok militan Syiah yng merupakan proxy Iran, dan berhasil ditumpas pada 2019. Hal ini terbukti dengan logo yang merupakan salinan dari Hizbullat dengan gambar Khamenei di markas mereka.
Jika kita kembali pada pernyataan tokoh Hamas nya sendiri, memang terdapat perbedaan pendapat terkait Iran. Ismail Haniyyah dan Khalid Misy'al adalah tokoh yang menegaskan pragmatisme mereka dengan Iran. Yahya Sinwar, di satu sisi merupakan tokoh Hamas yang paling dekat hubungannya dengan Iran.
Khalid Misy'al juga berulang kali membantah persepsi bahwasannya Hamas adalah proxy Iran. Khalid Misy'al juga menyatakan bahwa Iran dan Hamas mungkin saling mendukung dalam menghadapi musuh yang sama, tetapi untuk pengambilan keputusan Hamas sama sekali tidak terikat dengan Iran.
Oleh Abu Zhehir
Komentar
Posting Komentar